Pengaturan Hukum Perjanjian Kerja
Sebelum dilakukannya kegiatan kerja oleh pekerja/buruh setelah resmi menjadi seorang karyawan di suatu perusahaan, terlebih dahulu tahapan-tahapan awal diselesaikan berdasarkan hukum dan ketentuan yang berlaku yang salah satunya adalah perjanjian kerja antara pemberi kerja/pengusaha dan yang dipekerjakan/karyawan.
Namun sebelum melakukan perjanjian kerja ada baiknya memahami aturan hukum mengenai perjanjian kerja, sebab setelah paham apa itu perjanjian kerja dan bagaimana pengaturan hukumnya barulah kemudian setelah mendapatkan panggilan untuk menandantangai perjanjian kerja kita mengetahui apa itu perjanjian kerja dan aturan hukumnya.
Seperti yang diketahui bahwasanya aturan Hukum di Indonesia begitu banyak dan tersebar di berbagai undang-undang dan aturan lain dibawah uu begitu seterusnya, sehingga sampai saat ini belum bisa dikodifikasikan secara menyeluruh seluruh aturan hukum.
Sama halnya dengan aturan hukum mengenai perjanjian kerja yang notabene perjanjian kerja termasuk ke dalam golongan hukum ketenagakerjaan.
Adapun yang pertama bahwasanya perjanjian kerja dapat ditemukan didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni dalam pasal 1313, bahwasanya “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri dengan satu orang lain atau lebih”. Kemudian apa sebabnya suatu persetujuan atau perjanjian di dalam pasal ini menjadi salah satu aturan hukum perjanjian kerja? Sebab pasal inilah yang menjadi dasar dari segala suatu persetujuan ataupun perjanjian, bahwasanya perjanjian kerja merupakan suatu persetujuan antara pemberian kerja dan yang dipekerjakan.
Maka sebelum adanya perintah untuk bekerja suatu persetujuan haruslah terlebih dahulu telah tuntas atau disetujui kedua belah pihak, Jika tidak terdapat persetujuan tentu tidak ada perjanjian kerja. Segala suatu persetujuan ataupun perjanjian yang dilakukan haruslah bersandar pada pasal ini, karena dari pasal inilah yang kemudian beranjak pada aturan hukum selanjutnya mengenai perjanjian kerja, pada tahapan pasal ini aturan hukum perjanjian kerja barulah pada pengaturan persetujuan yang diperlukan kedua belah pihak.
Kemudian yang kedua, bahwasanya perjanjian kerja haruslah mencerminkan isi dari pasal 1313 KUHPer, sehingga sebagai patokan dasar dari suatu perjanjian kerja pasal selanjutnya yakni pasal 1601 (a) KUHPer menjadi pasal yang menjelaskan pertama kali mengenai perjanjian kerja.
Masyarakat umum seringkali salah kaprah dalam hal ini tatkala membahas mengenai perjanjian kerja, aturan hukum yang tertuju pertama adalah sebagaimana yang tercantum dalam UU Ketenagakerjaan (UU 13 Tahun 2003), benar UU Ketenagakerjaan memberikan pengertian perjanjian kerja, namun pasal 1601 KUHPer telah terlebih dahulu memberikan arti dari perjanjian kerja yang berbunyi “perjanjian kerja adalah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu yaitu buruh, mengikatkan diri, untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan, dengan upah selama waktu yang tertentu”.
Pada tahapan ini aturan hukumnya telah mendefiniskan dengan jelas mengenai perjanjian kerja, yakni pengikatan diri pihak kesatu dalam hal ini buruh kepada pihak lain dalam hal ini majikan.
Istilah yang masih digunakan dalam pasal ini masih menggunakan istilah majikan yang konotasi majikan pada masa ini beberapa kalangan masyarakat mengartikan istilah ini lebih ke arah konotasi negatif pada orang yang bekerja dengannya.
Selain itu juga dalam pasal ini telah memberikan arti kerja yaitu dengan menggunakan bahasa penyerahan tenaga, adanya upah, dan waktu tertentu.
Selanjutnya aturan hukum perjanjian kerja diatur dalam pasal 1 angka 14 UU 13 Tahun 2003 yaitu “Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”.
Ditahapan pasal ini telah jelas terlihat perkembangan dan perubahan dari pasal sebelumnya, definisinya pun sudah dengan tegas dan lugas bahwa perjanjian kerja itu adalah perjanjian antara pekerja/buruh, frasa buruh masih tetap dipakai sebagaimana pasal 1360 (a) namun ditambah dengan penggunaan frasa pekerja.
Kemudian frasa majikan dalam pasal sebelumnya telah diubah menjadi frasa pengusaha atau pemberi kerja, selanjutnya dimuat juga adanya persyaratan yang harus dipenuhi para pekerja/buruh agar bisa diterima bekerja, dan adanya penambahan hak dan kewajiban para pihak.
Hak dan kewajiban tersebut dalam cakupan perjanjian kerja adalah adanya pekerjaan, perintah, dan upah. Inilah yang melandasi hubungan kerja antara pemberi kerja dan pekerja, bahwa haruslah terpenuhi ketiga dasar tersebut agar disebut telah terjadi hubungan kerja.
Dikenal juga aturan hukum perjanjian kerja dengan istilah perjanjian kerja bersama atau yang disingkat PKB, perjanjian kerja bersama diatur dalam undang-undang 13 Tahun 2003 pada pasal 1 angka 21 “Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak”.
Perjanjian kerja bersama ini bukan hanya mengikat pada satu orang pekerja saja, akan tetapi karena perjanjian kerja bersama ini disusun antara pengusaha dengan serikat pekerja dengan syarat telah tercatat pada instansi bidang ketenagakerjaan. Serta dalam penyusunan perjanjian kerja bersama tersebut diwajibkan adanya kesepakatan tanpa adanya tekanan dari pihak manapun dan dengan sistem musyarawah yang berlandaskan i’tikad baik secara jujur dan terbuka dalam penyusunannya.
Namun perjanjian kerja tak hanya terbatas pada sekedar adanya perjanjian dan adanya hak dan kewajiban para pihak, aturan hukum mengenai perjanjian tak terlepas dari syarat sah nya suatu perjanjian. Sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 1320 KUHPer tentang syarat sah perjanjian yaitu:
1. Sepakat
2. Cakap
3. Causa/obyek tertentu
4. Sebab yang halal
Sepakat dalam artian adanya kesepakatan para pihak. Cakap dengan arti cukup umur, tidak dalam keadaan pengampuan, bukan orang gila. Causa tertentu yakni barang atau hal yang diperjanjikan ada dan jelas keadaannya. Sebab yang halal merujuk pada tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilan, dan kehormatan.
Syarat sepakat dan dan cakap menjadi syarat subyektif sedangkan syarat causa tertentu dan sebab yang halal sebagai syarat obyektif. Ketika syarat subyektif tidak terpenuhi maka akibat hukum yang timbul adalah dapat dibatalkannya perjanjian, dan ketika syarat obyektif tidak terpenuhi konsekuensi hukumnya adalah batal demi hukum perjanjian tersebut.
Disclaimer:
Setiap informasi yang terkandung dalam Artikel ini disediakan hanya untuk tujuan informasi dan tidak boleh ditafsirkan sebagai nasihat hukum tentang masalah apa pun, sebaiknya konsultasikan dengan advokat atau legal consultant professional.
Advocate and Legal Consultants
(Akhmad Japar Hasibuan S.H)